
Bagi Anda yang tinggal di Banten atau pernah tinggal di Banten, siapa yang tidak kenal Haji Hasan, selain dikenal sebagai seorang Tokoh sentral Banten yang lebih dikenal sebagai Seorang tokoh jawara atau pendekar Banten, yang memimpin kelompok jawara yang dikenal sebagai Kelompok Rawu.
Pria asal Pabuaran, Kabupaten Serang, Provinsi Banten yang sering mencantumkan nama lengkapnya sebagai Prof. DR. (HC). H. Tubagus Chasan Sochib ini adalah merupakan ayah dari Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Banten, Tubagus Hearul Jaman, Wakil Walikota Serang, dan Ratu Tatu Chasanah, Wakil Ketua DPRD Banten yang sedang bertarung di Pilkada Bupati
Selain disebut Haji Hasan, sebagai kehormatan gelarnya, Chasan Sochib juga sering disebut dengan nama Abah (penghormatan sebagai orang sepuh), Haji Kacong/Acong (ledekan tindakannya tidak sesuai dengan gelar haji-nya), Rau (merujuk pada tempat tinggalnya di kompleks Pasar Rau), Godfather (merujuk kekuasaan diduga melalui kekerasan) dan Gubenur Jendral (merujuk pada dugaan dia yang mengatur pemerintahan Provinsi Banten, Atut hanyalah boneka).
Chasan Sochib terlahir bukan dari keluarga kaya atau keluarga priyayi/bangsawan. Ia terlahir dari keluarga pedagang beras biasa di Pabuaran. Pendidikannya di sekolah rakyatnya tidak as tamatkan, kemudian Chasan Sochib melanjutkan ke pesantren. dan berakhir tidak tamat juga.
Menurut Sl, mantan aktivis LIRA Banten yang mendengar cerita dari jawara sepuh di Pabuaran, Kabupaten Serang, nama asli Chasan Sochib adalah Kasan. Sering disebut dengan nama Kasan Petromaks. Kata terakhir, karena tingkah laku Kasan yang suka mengamankan petromaks mushala ke pasar. Maklum, karena belum ada listrik, harga petromaks lumayan berarti.
Entah kenapa, Sl tidak menceritakan secara detail, Kasan terlibat perkelahian yang berujung kematian lawannya. Kasan pun dipaksa mengenyam pendidikan di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Selepas dari Nusakambangan, Kasan dikabarkan sering mengumpulkan pelaku kejahatan, seperti maling dan rampok. Di daerah Pabuaran, Ciomas dan Padarincang, namanya cukup ditakuti. Saat itu Kabupaten Serang dipimpin Bupati Kaking. Karena hobi dari sang bupati yang suka beburu babi hutan di daerah paburuan, Ciomas dan Padarincang
Kaking membutuhkan petunjuk jalan yang handal. Kasan lah yang sering dipilih Kaking.Terkesan oleh kecakapan dan kehandalan kerja Kasan, Kaking memboyongnya ke Kota Serang. Kasan dijadikan penjaga kandang kuda dan perawat binatang piaraan Kaking, seperti buaya, beruang, harimau dan lainnya. Lama-lama, nama Kasan berubah menjadi Hasan. Ternyata hasil kerja Hasan sangat memuaskan Kaking. Karirnya meningkat menjadi perwakilan Kaking dalam berdagang beras dari/ke Lampung. Tak lama dipromosikan kembali jadi tukang jingjing tas Kaking. Seperti buntut anjing, kemana Kaking pergi, tampak dibelakangnya Hasan menjingjing tas dan map.
Seiring berjalanya waktu. Lingkup kerjanya bertambah menjadi seorang yang mengurusi dokumen kontrak hingga ke pencairan dana proyek. dengan jabatanya tersebut Hasan jadi hapal seluk beluk bermain proyek. Kepercayaan pun datang. Hasan dipercaya Kaking memimpin proyek pembangunan pasar Anyer.
Di sini kecerdasan Hasan terlihat. Luas dan jumlah kios ia naikan, walau laporan ke Kaking tidak berubah masih sesuai rencana. Kios-kios di tempat strategis dikatakan sudah di beli orang, padahal dibeli sendiri. Keuntungan Hasan jadi berlipat-lipat, dari selisih penjualan kios antara laporan dan fakta di lapangan dan penjualan kios-kios strategis yang dibelinya dengan harga standar.
dari keuntungan itu Hasan mendirikan CV Sinar Ciomas dan mulai bermain proyek. Proyek pertamanya membangun jembatan di Anyer senilai kurang lebih Rp1 miliar. Jembatan dengan teknologi baru peninggalan nenek moyang, dibuat dari gelondongan batang pohon kelapa. Tak terbayangkan berapa untungnya.
Nama Hasan semakin tersohor di dunia proyek. Bukan saja terkenal karena teknik membangunnya yang sering mencontoh peninggalan nenek moyang, tapi lebih terkenal karena gaya penawaran proyek yang sangat berbeda. Jika perusahaan lain memberikan penawaran dalam amplop tertutup, Hasan memberikan penawaran berbentuk minimal 2 orang berseragam hitam-hitam dan bersenjatakan golok.
Tak hanya itu, sang jawara juga menjadi penyedia kebutuhan logistik bagi Kodam VI Siliwangi (Gandung Ismanto, Asasi, Nov-Des, 2010). Kodam Siliwangi juga berkepentingan atas kestabilan politik di Banten. Mereka membutuhkan orang lokal untuk menjadi perpanjangan tangan di daerah. Di mata para komandan Kodam IV Siliwangi, Banten adalah daerah yang rawan dipengaruhi oleh kekuatan komunis baik sebelum dan sesudah tragedi 1965 (Agus Sutisna (ed.), 2001).
Atas dalih kepentingan politik keamanan dan ekonomi di Banten, Chasan Sochib mendapatkan banyak keistimewaan dari Kodam VI Siliwangi dan Pemerintah Jawa Barat. Sebagian besar proyek pemerintah khususnya di bidang konstruksi banyak diberikan kepada Chasan Sochib. Tahun 1967, Chasan Sochib mendirikan PT. Sinar Ciomas Raya yang sampai saat ini merupakan perusahaan terbesar di Banten, khususnya di bidang konstruksi jalan dan bangunan fisik lainnya (van Zorge Report, Januari 21, 2010). Untuk memantapkan bisnisnya, Chasan Sochib menguasai sejumlah organisasi bisnis seperti Kamar Dagang dan Industri Daerah Banten, Gabungan Pengusaha Konstruksi Nasional Indonesia Banten, dan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional Indonesia Banten.
Ketika terjadi reformasi, Chasan Sochib mampu mentransformasi diri ke dalam struktur politik dan ekonomi yang baru. Meminjam kerangka teoritis Richard Robison dan Vedi Hadiz (2004), Chasan Sochib adalah the old predator yang mampu mereorganisir kekuasaannya sehingga dia tak lenyap digerus arus perubahan. Chasan Sochib mampu menjelma menjadi the new predator yang menguasai arena politik, ekonomi, sosial-budaya di Banten. Bahkan, dalam kasus Banten, Chasan Sochib jauh lebih berkuasa saat ini dibandingkan dengan era Orde Baru.
Pada awal perubahan di Banten, Chasan Sochib sinis melihat gerakan dari sejumlah pihak yang menuntut Banten menjadi provinsi baru. Chasan Sochib khawatir bahwa perubahan ini akan mengancam keberlangsungan relasi bisnis dan politiknya dengan pejabat di Provinsi Jawa Barat. Namun seiring dengan makin membesarnya arus gerakan pembentukan Provinsi Banten, Chasan Sochib segera berbalik dan berperan aktif.
Perpindahan posisi ini menyelamatkan masa depan bisnis dan politiknya di Banten. Dengan kekuatan finansialnya, Chasan Sochib membantu gerakan pemekaran dan mendapatkan pengakuan sebagai tokoh pembentukan Provinsi Banten. Setelah Banten menjadi provinsi, Chasan Sochib mulai lebih agresif menyusun kekuatan politiknya. Dulu pada masa Orde Baru, Chasan Sochib hanya bertindak sebagai client capitalism (meminjam istilah Richard Robison, 1990) yang sangat bergantung pada koneksi dengan pejabat sipil dan militer, tetapi tidak aktif dalam merancang siapa yang berkuasa atas politik Jawa Barat. Dengan adanya struktur politik yang baru, Chasan Sochib bertindak secara aktif menentukan siapa yang menjadi penguasa di Banten.
Bermula dari upaya memajukan Ratu Atut sebagai calon wakil gubernur dan sukses memenangkannya, Chasan Sochib merancang anggota keluarga besarnya untuk aktif terlibat di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Hasilnya sangat sukses (lihat ilustrasi di atas). Chasan Sochib memang tak memegang jabatan publik, tetapi sebagaimana pengakuan dirinya bahwa dia adalah “gubernur jenderal” menunjukkan bahwa dia adalah penguasa sesungguhnya di Banten.
Berbagai sumber
- Van Halen: Ibu Saya Dari Rangkasbitung
- Mengenal Abah Falak, Ulama Kharismatik Banten Keturunan Walisongo
- Sumardi, SH, MH : Profesionalisme Dalam Berkarir
- Sunarto 'HABI' Persembahan Untuk Kota Tangerang
- Hilmi Fuad: Berpolitik pun Ibadah
- HMZ, Antara Eksplorasi Intelektual & Penjelmaan Sebuah Pengabdian
- Syafrudin, Tokoh 'Pemberontak' Banten Yg Kini Menjadi Pahlawan