Lapsus
Sabtu 19 Mei 2018 00:48
Ustadz Azmi. (FOTO: BantenExpres)
\"Share

TANGERANG - Kementerian Agama merilis 200 nama-nama ustadz atau muballigh (penceramah) pada Jumat (18/05). Para muballigh ini dinilai Kemenag telah memenuhi syarat dan kriteria yang berkompetensi sebagai penceramah, bagi kegiatan keagamaan.

"Yaitu mempunyai kompetensi keilmuan agama yang mumpuni, reputasi yang baik, dan berkomitmen kebangsaan yang tinggi," jelas Menag dilansir laman resmi kemenag.go.id.

Keputusan Kementerian Agama ini sontak menuai pro kontra di lini massa. Seperti di Twitter, netizen yang menilai kebijakan tersebut hanya akan menimbulkan polemik baru, terutama terkait para penceramah di negeri ini.

Sementara itu, Dai muda asal Kota Tangerang, Kaherul Azmi Abbas, mengatakan kebijakan yang dibuat Kementerian Agama itu adalah haknya pemerintah.

“Ya itu seh hak pemerintah, untuk menentukan muballigh yang terverifikasi versi pemerintah. Tapi pada akhirnya, muballigh, kiai, ustadz, pendeta, rahib dan tokoh agama lainnya adalah milik jamaah, maka jamaah-lah yang akan menentukan panggung dakwah mereka,” kata Azmi kepada BantenExpres, Jumat (18/05) malam.

Menurut pria lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini mengatakan, bisa saja para muballigh (penceramah) yang tidak terverifikasi tidak akan masuk di lingkungan pemerintahan yang sudah terkooptasi oleh Kemenag.

Azmi yang sering mengisi ceramah-ceramah di Masjid/Mushola di Tangerang ini juga menilai, keputusan Kemenag merilis muballligh berkompetensi tersebut sarat bermuatan politik.

“Tentu kepentingan politisnya sangat kuat, namun digiring isunya tidak kearah itu, melainkan (misalnya) melawan terorisme dan faham radikal (deradikalisme), padahal pengkondisian politik pasti dilakukan,” ujar dia yang juga lulusan konsentrasi Dakwah di IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Kedua publik sudah cerdas, sehingga dikotomi Kiai terverifikasi Kemenag dan non Kemenag malah bisa jadi bumerang buat pemerintah, jika yang muncul adalah dikotomi Kiai pemerintah dan Kiai rakyat, sambung Azmi.

“Kompeten dan tidak kompeten versi Kemenag mungkin, tapi kalau menurut rakyat, sangat tidak mungkin, hingga hari ini muballigh dengan titel berderet saja belum tentu di apresiasi oleh jamaah kok,” ketusnya.

“Apalagi hanya sekedar sertifikasi,” lanjut Azmi saat ditanya apakah para muballigh (penceramah) yang tidak terdaftar di Kemenag, nantinya akan dianggap tidak berkompeten secara keilmuan oleh publik.

"Prinsipnya saya setuju, jika Kiai, muballigh sebagai bagian dari ideological state aparatus di fasilitasi pembekalan nasionalisme, komitmen kebangsaan dan lainnya. Cuma kalau fasilitatornya Kemenag, ini terlalu "genit",” ujar dia lagi.

Azmi yang juga mengenyam pendidikan di Ponpes Darqo (Daar El-Qolam) Gintung ini menuturkan, fasilitatornya adalah ormas keagamaan yang menjadi representasi dari ormas-ormas Islam besar di Indonesia, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Sehingga kiai tidak dikooptasi oleh kepentingan politik,” tutup Azmi menegaskan. (ZIE)

Tentang Kami | Hubungi Kami | Redaksi | Disclaimer

PT BantenExpres Siber Media ©2018     develop by mitratek