Pendidikan
Minggu 11 Februari 2018 20:17
Museum Multatuli Lebak. (FOTO: Istimewa)
\"Share

LEBAK - Mari kita bersuka cita di Banten kidul. Daerah kami tertinggal, maka kami punya banyak pekerjaan yang mulia. Demikian kutipan pidato pertama Eduard Douwes Dekker, yang memiliki nama pena Multatuli. Pidato tersebut dibuat sehari setelah ia dilantik sebagai salah satu Kepala Kawedanan Lebak, yang menandai tangan kekuasaan Belanda, pada 22 Januari 1886.

Kutipan itu pun bisa dilihat dari kata-kata mutiara Multatuli yang tertulis di dinding Museum, yang menandai museum anti-kolonialisme pertama di Indonesia. Museum Multatuli sebagai simbol bahwa menegakkan keadilan tak mengenal suku, agama dan ras.

"Museum tidak hanya berbicara Multatuli, dan ini adalah museum anti-kolonialisme dan sejarah kolonialisme itu sendiri yang pertama di Indonesia," kata Bonie Triyana, sejarawan Indonesia asal Lebak pada awak media, usai peresmian Museum Multatuli, Ahad (11/02).

Museum menceritakan bagaimana perlawanan terhadap penjajahan itu berlokasi di dekat Alun-alun Rangkasbitung. Menempati kantor bekas Kawedanan Lebak, tempat Eduard Douwes Dekker, berkantor. Dengan tujuh ruangan di dalamnya, museum ini didedikasikan bagi siapa pun yang peduli untuk melawan penjajahan saat ini.

Semangat persatuan dan kesatuan Indonesia, tergambar jelas dari museum berisikan novel terbitan pertama Douwes Dekker berbahasa Prancis, Max Havelaar.

"Museum ini bukan hanya milik Lebak, tapi juga milik Indonesia dan dunia. Museum ini mengangkat sejarah kolonialisme di Indonesia," kata Bupati Lebak, Iti Octavia Jayabaya.

Iti bercerita kalau dirinya bersama tim pendiri museum, sempat mendapati suara satir dari orang yang menolak berdirinya Museum Multatuli. Namun, museum yang di depannya terdapat patung Multatuli dan roman Saija-Adinda saat penjajahan Belanda ini, tetap berdiri setelah perjuangan selama empat tahun lamanya.

"Novel Multatuli, menjadi perlawanan di massanya. Museum Multatuli, menjadi simbol perlawanan kepada kebodohan, kemiskinan dan ketertinggalan saat ini," cetus Iti.

Sebagai informasi, setelah melalui proses panjang, Museum Multatuli akhirnya diresmikan oleh Bupati Lebak, Iti Octavia Jayabaya dan Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid, Ahad (11/02).

Museum yang terletak di seberang Alun-Alun Rangkasbitung ini, itu sudah menjadi wacana sejak 2014 serta melalui proses riset dan pengumpulan koleksi sejak dua tahun terakhir.

Nama museum itu diambil dari nama pena Edward Douwes Dekker, mantan Asisten Wedana (Pembantu Bupati) Lebak asal Belanda yang menulis novel ‘Max Havelaar’. Karya itu berisi tentang sindirannya terhadap pemerintah Hindia Belanda yang memperlakukan rakyat dengan semena-semena.

Pengunjung akan disambut oleh muka Multatuli, yang dibuat dari pecahan kaca. Lalu akan memasuki ruang multimedia, berisikan film dokumenter terkait penjajahan di Indonesia. Ruang lainnya menggambarkan bagaimana sejarah Kabupaten Lebak. Di dalam seluruh museum, pengunjung akan betah, karena tercium harum asli kopi, kayu manis dan rempah-rempah lainnya.

Ada juga ruangan yang menyimpan surat tulisan tangan Douwes Dekker, catatan panjang sejarah perlawanan kepada kolonialisme, yang dilakukan masyarakat Banten, hingga penyaringan dan pahlawan kemerdekaan yang terinspirasi dari karya Multatuli, seperti Sukarno, Hatta, Tan Malaka, hingga Pramoedya Ananta Toer. (RHMT/TON)

Tentang Kami | Hubungi Kami | Redaksi | Disclaimer

PT BantenExpres Siber Media ©2018     develop by mitratek